Adat
Tanah dan Pertanian Pada Masyarakat Batak Karo
Pendahuluan
Dalam pembahasan “Korban sebagai sumber kehidupan” dijelaskan
bahwa dalam kebudayaan agraris masih melaksanakan ritus tradisional persembahan
korban untuk menjamin pertumbuhan yang baik pada penanaman benih. Latar
belakang dari mitos ini adalah mitos dewi padi yang bernama Tono Wujo[1].
Hal ini hampir sama dengan kebudayaan masyarakat Batak Karo. Dalam masyarakat
Batak Karo dipercaya bahwa, ada acara yang harus dilakukan ketika mengambil dan
mengusahakan sebuah tanah. Selain itu, diyakini juga tentang mitos adanya dewi
Padi yang harus disembah dan diberikan persembahan untuk menjamin pertumbuhan
dan panen padi.
Dalam tulisan ini penulis akan menjelaskan tentang adat tanah dan
pertanian dalam masyarakat Batak Karo. Dalam adat tanah, penulis akan
menjelaskan tentang prinsip tanah yang berlaku, cara mendapatkan tanah,
alat-alat yang dibutuhkan, dan proses plaksanaannya. Begitu juga dengan adat
pertanian, penulis akan menjelaskan kebiasaan masyarakat dalam acara menanam,
merawat dan memanen padi. Dalam setiap prosesnya penulis akan menyertakan
alat/bahan yang dibutuhkan dalam cara pelaksanaanya. Setelah menjelaskan
keduanya, penulis akan menyertakan tanggapan gereja terhadap adat ini. Acuan
utama penulis dalam mengerjakan tulisan ini adalah buku karangan Darwan Parnist
yang berjudul Adat Karo.
Adat
Tanah Dalam Masyarakat Karo
1.
Pengertian
Pada prinsipnya, tanah
menurut hukum adat Batak Karo adalah milik Kuta
(desa), penguasaannya berada di bawah kekuasaan pengulu/si mantek kuta (pimpinan
desa). Oleh karena itu, hak seseorang ginemgem
(rakyat) atas tanah hanyalah sekedar hak pakai. Untuk pemakaiannya haruslah
dengan seizin pengulu. Kemudian
setelah mendapat izin dari pengulu,
orang yang ingin memakai tanah itu ngumbung
(memberi tanda) di atas tanah tersebut sesuai dengan hukum adat Batak Karo. Maksudnya,
sebagai pemberitahuan kepada penduduk kampung (kuta) tentang maksud untuk mengusahakan lahan itu.[2]
2.
Peralatan
Dalam acara ngumbung juma (memberi tanda pada
lahan), dibutuhkan peralatan: sirih (belo),
pelepah enau (kedeng pola), janur (lambe), dan cangkul.
3.
Proses Pelaksanaan
Untuk melaksanakan
acara ini, biasanya dicari hari baik menurut petunjuk guru perkatika (mirip dukun).
Dalam hari yang ditentukan oleh guru
perkatika tersebut, brangkatlah orang yang hendak mengambil ladang itu ke
tempat yang dituju. Sesampainya di lokasi, terlebih dahulu dibuat persembahan (ercibal pati taneh), kemudian di
laksanakan acara padi-padiken. Padi-padiken
adalah upacara membentangkan tikar di tengah lahan itu, dan di atas tikar itu
di letakkan: dua liter padi, beras satu genggam, sebutir telor ayam, sirih,
dll. Tujuan dari padi-padiken ini adalah untuk mengetahui apakan lahan ini
cocok untuk orang yang akan mengambil tanh tersebut atau tidak.[3] Setelah acara padi-padiken berjalan dengan baik,
barulah dicangkul di tengah ladang itu seluas kira-kira 2
. Di sana kemudian
dipasang janur bertiangkan pelepah enau, dan dilanjutkan di
keempat sudut (suki) ladang itu
dengan ukuran yang sama. Dengan demikian selesailah ngumbung juma.[4]
Keadaan yang sama juga dilakukan ketika seseorang ingin membuka
hutan belantara (rabin). Setelah menyajikan/mempersembahkan
sirih, dll (ercibal), kemudian di
tengah hutan yang ingin dibuka lahan itu dibabat (rentes), lalu dipasang janur.
Kemudian dibabat keempat sudut hutan tersebut.
Makna dari ngumbung ini
adalah pemberitahuan kepada khalayak ramai tentang rencana seseorang untuk
membuka ladang di lokasi tersebut. Serta mempersilahkan yang keberatan atas hal
itu menyempaikan keberatan (protes) kepada pimpinan desa. Apabila dalam waktu
empat hari tidak ada yang melakukan protes, maka ladang itu sah untuk
dicangkul/dibabat, dan dijadikan ladang.[5]
Pertanian
Pada Masyarakat Karo
Pada masyarakat Batak Karo,
biasanya ada acara dalam penanaman, perawatan, dan panen padi. Dalam hal ini
penulis akan menjelaskan upacara penanaman padi (merdang), perawatan padi (nimpa
bunga benih), dan panen (rani).
1.
Menanam (Merdang)
a. Pengertian
Merdang
berarti menanam. Umumnya untuk pertanian pada masyarakat Batak Karo, yang
ditanam adalah padi. Akan tetapi, dengan semakin bervariasinya tanaman palawija
yang ditanam di lahan pertanian, kebiasaan demikian menjadi berkurang. Di
beberapa tempat di daerah Karo, seperti: Kecamatan Lau Baleng, Kuta Buluh,
Munthe, dan Mardinding, musim menanam diawali dengan acara merdang merdem. Akan tetapi, di beberapa daerah acara merdang merdem ini tidak lagi dipraktikkan,
misalnya: Kecamatan Payung (kecuali desa Suka Tendel dan Tnjung Morawa) yang
dikenal sebagai nimpa Bunga Benih, sementara
di daerah Kecamatan Tiga Panah dan Gunung Meriah dikenal Rebu-rebu.[6]
Penamaan di beberapa daerah ini mungkin berbeda, tetapi pada umumnya acara dan
tujuan acaranya adalah sama.
b. Peralatan
Untuk
memulai menanam padi diperlukan peralatan-peralatan seperti: sirih (Belo), Benih, Besi-besi sangka sempiler (simalun-malun), dan Onggokan tanah.
c. Proses Pelaksanaan
Dalam upacara merdang, di
tengah ladang akan dibuat onggokan tanah menyerupai gunung, kemudian dibuat persumbuken belo bujur, diletakkan di
atas puncak onggokan tanah tersebut. Tangkai sirih mengarah ke Gunung
Sinabung, kemudian dibuat lubang (lebeng) sebanyak sebelas buah. Setelah
itu, benih padi dicampurkan dengan simalem-malem
(besi-besi sangka sempilet ditambah lak-lak galuh sitabar).
Pemilik tanah pertanian
kemudian berdoa sebagai berikut: “o...
Nini Beras Padi Taneh. Enda kuerdangken pagengku enda, pasu-pasundu mbuah page,
meriah manuk, mejuah-juah anak dilaki ras anak diberu, sekula serasi kami pagi
man buah page mbaru enda”[7].
Artinya: “Hai... Dewata Tanah, kami tanam padi kami ini, agar kami semua
selamat bahagia anak-anak kami yang laki-laki dan permpuan. Serasilah kami
memakan buah padi ini. Kemudian kesebelas lubang itu ditanami dengan padi.
Tempat inilah yang disebut dengan perbenihen.
Selesai acara ini, maka menanam padi dapat dimulai.
2.
Nimpa Bunga Benih
a.
Pengertian
Nimpa
Bunga Benih adalah suatu upacara tradisional
masyarakat Karo, yang dilaksanakn pada saat padi telah berumur dua atau tiga
bulan atau sering disebut naka-naka page oleh
masyarakat setempat. Dulu di daerah Kuta Buluh/Buah Raja adat demikian juga
ada, tetapi sekarang terutama dilaksanakan di Kecamatan Payung. Acara ini
merupakan upacara memberi makan Dewi Padi.
b.
Peralatan
Adapun peralatan yang
diperlukan untuk nimpa bunga benih
ini adalah: Sisa benih yang dijadikan kue (ampam),
menir (Bening cimpa), sebelas
ekor jangkrik (Kurung), dan sebelas ekor Ikan lele.
c.
Proses Pelaksanaan
Hari pertama acara nimpa bunga benih adalah berburu
jangkrik dan ikan (kikurung dan ndurung).
Jangkrik dan lele kemudian dimasak bersama-sama (gule). Pada malam
harinya dibuat ampam (cimpa). Dan
sisa benih dijadikan beras, kemudian direndam dengan air daun padi, sehingga
warnanya menjadi hijau. Beras ini dijadikan tepung kemudian dijadikan kue
(ampam), sementara bening (menir)
dari tepung ini dikumpulkan. Hari kedua dilakukan acara ngela-ngela (membagi-bagikan kue) kepada kalimbubu kuta dan anak beru
kuta). Dan kira-kira pada pukul 16:00 atau 17:00 WIB diadakan upacara
memberi makan padi. Di mana pada waktu itu masing-masing keluarga pergi ke
ladanag membawa kue dari olahan sisa benih (cimpa
ampam) dan menir (bening). Kue (kapi-kapi cimpa) dan ampam dijadikan
sesajen di pembenihan (tempat mulai menanam padi), kemudian ditaburi dengan
menir (kapi-kapi/bening) cimpa.
Selanjutnya, seluruh padi di ladang itu ditaburi dengan menir (kapi-kapi/bening), dan tepung (cimpa)
tersebut. Selesai itu, acara nimpa bunga benih telah selesai dan adakalanya keluarga
itu memandikan diri (erpangir) ke
pancur/sungai dan pulang ke rumah. Hari ketiga disebut hari rebu (berpantang)
ke ladang selama empat hari berturut-turut.[8]
Dan selesailah acara nimpa bunga benih.
D.
Rani Page (Panen Padi)
1.
Pengertian
Rani page berarti
memanen padi. Dulu rani ini dilakukan dengan menggunakan ani-ani (ketam). Ani-ani dijepit di sela
jari-jari tangan, lalu dengan jempol jari tandan (ruhi) padi ditarik dan ditekan, sehingga terpotong oleh ani-ani.
Tiap-tiap ruhi padi dikumpulkan secekal demi secekal dan setelah penuh empat
cekal disebut satu pungo. Tetapi sekitar tahun 60-an timbul kebiasan menyabit
padi dan kumpulan dari sabitan padi itu disebut raden.[9]
2.
Peralatan
Untuk memulai acara
panen padi diperlukan peralatan sebagai berikut: sirih, ketam, sabit, Bunga
sanggar (pimping).
3.
Proses Pelaksanaan
Dalam pagi hari di
acara panen, pemilik padi akan pergi ke ladang yang hendak di panen.
Sesampainya di ladang, ia akan menentukan dari mana panen akan dimulai.
Selanjutnya, dibuat persembahan kepada Beras Pati Taneh (Dewi Padi). Kemudian
padi ditarik (awin) ke arah dirinya
dengan kedua belah tangannya sebanyak sebelas kali. Perhatikan ruhi (tandan) padi yang menghadap ke
arah (muka) pemilik padi, ambil sebelas tangkai tadan. Kemudian satukan dengan
buah sanggar (pimping) lalu diikat. Padi yang sebelas tangkai itu kemudian
disembur dengan sirih. Lalu petani berkata o.... nini beras pati taneh, mbuah kal page
enda ndai, janah sekula serasilah kami man page mbaru enda. Iteremi pagi man
page mbaru enda erkiteken meriah ukurlah. Artinya “terima kasih dewa tanah,
kami telah memperoleh panen yang baik, dan berbahagialah kami memakan buah padi
ini. Beramai-ramai kami memakannya
karena kebahagiaan.[10]
Selanjutnya, pungo
dikumpulkan dan dibuat onggokan seperti gunung/candi, yang disebut pinuh. Tata
cara membuat pinuh adalah sebagai berikut: Pertama-tama ditentukan tempat,
dibersihkan atau dicangkul sampai rata. Kemudian dialasi dengan tikar (amak). Setelah selesai tempat
disiapkan, maka disiapkan tapak pinuh, yaitu: pungo yang disusun seperti
lingkaran (disebut tapak pinuh).
Selanjutnya, disusunlah pinuh-pinuh itu sampai selesai menyerupai gunung atau
candi. Di bagian paling atas ditutup dengan sebuah pinuh dan diberi setongkol
jagung yang kulit-kulitnya dikuakkan sehingga warna merah jagungnya kelihatan dan
jagung itu menjadi hiasan dari pinuh tersebut.[11]
Dan akhirnya selesailah acara panen.
Daftar
Pustaka
Parinst,
Darwan, Adat Karo. Medan: Bina Media
Perintis, 2014.
Sitanggang,
Hilderia, Arsitektur Tradisional Batak
Karo. Jakarta: Dapartemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1991.
Piepke, Joachim G, “Korban sebagai Sumber Kehidupan”,
dalam: Kleden, Paul Budi et. al. (eds),
Allah Menggugat, Allah menyembuhkan,
Kenangan HUT ke-65 P. Dr. Georg Kirchberger, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2012)hlm,41-66.
[1] Joachim G Piepke, (2012), “Korban sebagai
Sumber Kehidupan”, dalam: Kleden, Paul Budi et. al. (eds), Allah
Menggugat, Allah menyembuhkan, Kenangan HUT ke-65 P. Dr. Georg Kirchberger, Maumere:
Penerbit Ledalero, h. 41-66.
[2] Darwan
Parinst, Adat Karo, Medan: Bina Media
Perintis, 2014,hlm215.
[3] Hilderia
Sitanggang, Arsitektur Tradisional Batak
Karo, (Jakarta: Dapartemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1991), hlm.50.
[4] Darwan
Parinst, Adat Karo, Medan, hlm.216.
[5] Darwan
Parinst, Adat Karo, Medan, hlm.216.
[6] Darwan
Parinst, Adat Karo, Medan, hlm.217.
[7] Darwan
Parinst, Adat Karo, Medan, hlm.218.
[8] Darwan
Parinst, Adat Karo, Medan, hlm.221.
[9] Darwan
Parinst, Adat Karo, Medan, hlm.220.
[10] Darwan
Parinst, Adat Karo, Medan, hlm.221.
[11] Darwan
Parinst, Adat Karo, Medan, hlm.221.
[12] Pdt.Israel.HS.Milala,
dalam https://israelhsmilala.wordpress.com/tag/kerja-rani-gbkp/.