Senin, 27 Agustus 2018

Adat Tanah dan Pertanian Pada Masyarakat Batak Karo

Adat Tanah dan Pertanian Pada Masyarakat Batak Karo


Pendahuluan
   Dalam pembahasan “Korban sebagai sumber kehidupan” dijelaskan bahwa dalam kebudayaan agraris masih melaksanakan ritus tradisional persembahan korban untuk menjamin pertumbuhan yang baik pada penanaman benih. Latar belakang dari mitos ini adalah mitos dewi padi yang bernama Tono Wujo[1]. Hal ini hampir sama dengan kebudayaan masyarakat Batak Karo. Dalam masyarakat Batak Karo dipercaya bahwa, ada acara yang harus dilakukan ketika mengambil dan mengusahakan sebuah tanah. Selain itu, diyakini juga tentang mitos adanya dewi Padi yang harus disembah dan diberikan persembahan untuk menjamin pertumbuhan dan panen padi.
   Dalam tulisan ini penulis akan menjelaskan tentang adat tanah dan pertanian dalam masyarakat Batak Karo. Dalam adat tanah, penulis akan menjelaskan tentang prinsip tanah yang berlaku, cara mendapatkan tanah, alat-alat yang dibutuhkan, dan proses plaksanaannya. Begitu juga dengan adat pertanian, penulis akan menjelaskan kebiasaan masyarakat dalam acara menanam, merawat dan memanen padi. Dalam setiap prosesnya penulis akan menyertakan alat/bahan yang dibutuhkan dalam cara pelaksanaanya. Setelah menjelaskan keduanya, penulis akan menyertakan tanggapan gereja terhadap adat ini. Acuan utama penulis dalam mengerjakan tulisan ini adalah buku karangan Darwan Parnist yang berjudul Adat Karo.

Adat Tanah Dalam Masyarakat Karo
1. Pengertian
Pada prinsipnya, tanah menurut hukum adat Batak Karo adalah milik Kuta (desa), penguasaannya berada di bawah kekuasaan pengulu/si mantek kuta (pimpinan desa). Oleh karena itu, hak seseorang ginemgem (rakyat) atas tanah hanyalah sekedar hak pakai. Untuk pemakaiannya haruslah dengan seizin pengulu. Kemudian setelah mendapat izin dari pengulu, orang yang ingin memakai tanah itu ngumbung (memberi tanda) di atas tanah tersebut sesuai dengan hukum adat Batak Karo. Maksudnya, sebagai pemberitahuan kepada penduduk kampung (kuta) tentang maksud untuk mengusahakan lahan itu.[2]
2. Peralatan
Dalam acara ngumbung juma (memberi tanda pada lahan), dibutuhkan peralatan: sirih (belo), pelepah enau (kedeng pola), janur (lambe), dan cangkul.
3. Proses Pelaksanaan
Untuk melaksanakan acara ini, biasanya dicari hari baik menurut petunjuk guru perkatika (mirip dukun). Dalam hari yang ditentukan oleh guru perkatika tersebut, brangkatlah orang yang hendak mengambil ladang itu ke tempat yang dituju. Sesampainya di lokasi, terlebih dahulu dibuat persembahan (ercibal pati taneh), kemudian di laksanakan acara padi-padiken. Padi-padiken adalah upacara membentangkan tikar di tengah lahan itu, dan di atas tikar itu di letakkan: dua liter padi, beras satu genggam, sebutir telor ayam, sirih, dll. Tujuan dari padi-padiken ini adalah untuk mengetahui apakan lahan ini cocok untuk orang yang akan mengambil tanh tersebut atau tidak.[3] Setelah acara padi-padiken berjalan dengan baik, barulah dicangkul di tengah ladang itu seluas kira-kira 2 . Di sana kemudian dipasang janur bertiangkan pelepah enau, dan dilanjutkan di keempat sudut (suki) ladang itu dengan ukuran yang sama. Dengan demikian selesailah ngumbung juma.[4]
   Keadaan yang sama juga dilakukan ketika seseorang ingin membuka hutan belantara (rabin). Setelah menyajikan/mempersembahkan sirih, dll (ercibal), kemudian di tengah hutan yang ingin dibuka lahan itu dibabat (rentes), lalu dipasang janur. Kemudian dibabat keempat sudut hutan tersebut.
   Makna dari ngumbung ini adalah pemberitahuan kepada khalayak ramai tentang rencana seseorang untuk membuka ladang di lokasi tersebut. Serta mempersilahkan yang keberatan atas hal itu menyempaikan keberatan (protes) kepada pimpinan desa. Apabila dalam waktu empat hari tidak ada yang melakukan protes, maka ladang itu sah untuk dicangkul/dibabat, dan dijadikan ladang.[5]

Pertanian Pada Masyarakat Karo
Pada masyarakat Batak Karo, biasanya ada acara dalam penanaman, perawatan, dan panen padi. Dalam hal ini penulis akan menjelaskan upacara penanaman padi (merdang), perawatan padi (nimpa bunga benih), dan panen (rani).
1. Menanam (Merdang)
a. Pengertian
Merdang berarti menanam. Umumnya untuk pertanian pada masyarakat Batak Karo, yang ditanam adalah padi. Akan tetapi, dengan semakin bervariasinya tanaman palawija yang ditanam di lahan pertanian, kebiasaan demikian menjadi berkurang. Di beberapa tempat di daerah Karo, seperti: Kecamatan Lau Baleng, Kuta Buluh, Munthe, dan Mardinding, musim menanam diawali dengan acara merdang merdem. Akan tetapi, di beberapa daerah acara  merdang merdem ini tidak lagi dipraktikkan, misalnya: Kecamatan Payung (kecuali desa Suka Tendel dan Tnjung Morawa) yang dikenal sebagai nimpa Bunga Benih, sementara di daerah Kecamatan Tiga Panah dan Gunung Meriah dikenal Rebu-rebu.[6] Penamaan di beberapa daerah ini mungkin berbeda, tetapi pada umumnya acara dan tujuan acaranya adalah sama.
b. Peralatan
Untuk memulai menanam padi diperlukan peralatan-peralatan seperti: sirih (Belo), Benih, Besi-besi sangka sempiler (simalun-malun), dan Onggokan tanah.
c. Proses Pelaksanaan
Dalam upacara merdang, di tengah ladang akan dibuat onggokan tanah menyerupai gunung, kemudian dibuat persumbuken belo bujur, diletakkan di atas puncak onggokan tanah tersebut. Tangkai sirih mengarah ke Gunung Sinabung,  kemudian dibuat lubang (lebeng) sebanyak sebelas buah. Setelah itu, benih padi dicampurkan dengan simalem-malem (besi-besi sangka sempilet ditambah lak-lak galuh sitabar).
   Pemilik tanah pertanian kemudian berdoa sebagai berikut: “o... Nini Beras Padi Taneh. Enda kuerdangken pagengku enda, pasu-pasundu mbuah page, meriah manuk, mejuah-juah anak dilaki ras anak diberu, sekula serasi kami pagi man buah page mbaru enda”[7]. Artinya: “Hai... Dewata Tanah, kami tanam padi kami ini, agar kami semua selamat bahagia anak-anak kami yang laki-laki dan permpuan. Serasilah kami memakan buah padi ini. Kemudian kesebelas lubang itu ditanami dengan padi. Tempat inilah yang disebut dengan perbenihen. Selesai acara ini, maka menanam padi dapat dimulai.
2. Nimpa Bunga Benih
a. Pengertian
Nimpa Bunga Benih adalah suatu upacara tradisional masyarakat Karo, yang dilaksanakn pada saat padi telah berumur dua atau tiga bulan atau sering disebut naka-naka page oleh masyarakat setempat. Dulu di daerah Kuta Buluh/Buah Raja adat demikian juga ada, tetapi sekarang terutama dilaksanakan di Kecamatan Payung. Acara ini merupakan upacara memberi makan Dewi Padi.
b. Peralatan
Adapun peralatan yang diperlukan untuk nimpa bunga benih ini adalah: Sisa benih yang dijadikan kue (ampam), menir (Bening cimpa), sebelas ekor jangkrik (Kurung), dan sebelas ekor Ikan lele.
c. Proses Pelaksanaan
Hari pertama acara nimpa bunga benih adalah berburu jangkrik dan ikan (kikurung dan ndurung). Jangkrik dan lele kemudian dimasak bersama-sama (gule). Pada malam harinya dibuat ampam (cimpa). Dan sisa benih dijadikan beras, kemudian direndam dengan air daun padi, sehingga warnanya menjadi hijau. Beras ini dijadikan tepung kemudian dijadikan kue (ampam), sementara bening (menir) dari tepung ini dikumpulkan. Hari kedua dilakukan acara ngela-ngela (membagi-bagikan kue) kepada kalimbubu kuta dan anak beru kuta). Dan kira-kira pada pukul 16:00 atau 17:00 WIB diadakan upacara memberi makan padi. Di mana pada waktu itu masing-masing keluarga pergi ke ladanag membawa kue dari olahan sisa benih (cimpa ampam) dan menir (bening). Kue (kapi-kapi cimpa) dan ampam dijadikan sesajen di pembenihan (tempat mulai menanam padi), kemudian ditaburi dengan menir (kapi-kapi/bening) cimpa. Selanjutnya, seluruh padi di ladang itu ditaburi dengan menir (kapi-kapi/bening), dan tepung (cimpa) tersebut. Selesai itu, acara nimpa bunga benih telah selesai dan adakalanya keluarga itu memandikan diri (erpangir) ke pancur/sungai dan pulang ke rumah. Hari ketiga disebut hari rebu (berpantang) ke ladang selama empat hari berturut-turut.[8] Dan selesailah acara nimpa bunga benih.
D. Rani Page (Panen Padi)
1. Pengertian
Rani page berarti memanen padi. Dulu rani ini dilakukan dengan menggunakan ani-ani (ketam). Ani-ani dijepit di sela jari-jari tangan, lalu dengan jempol jari tandan (ruhi) padi ditarik dan ditekan, sehingga terpotong oleh ani-ani. Tiap-tiap ruhi padi dikumpulkan secekal demi secekal dan setelah penuh empat cekal disebut satu pungo. Tetapi sekitar tahun 60-an timbul kebiasan menyabit padi dan kumpulan dari sabitan padi itu disebut raden.[9]
2. Peralatan
Untuk memulai acara panen padi diperlukan peralatan sebagai berikut: sirih, ketam, sabit, Bunga sanggar (pimping).
3. Proses Pelaksanaan
Dalam pagi hari di acara panen, pemilik padi akan pergi ke ladang yang hendak di panen. Sesampainya di ladang, ia akan menentukan dari mana panen akan dimulai. Selanjutnya, dibuat persembahan kepada Beras Pati Taneh (Dewi Padi). Kemudian padi ditarik (awin) ke arah dirinya dengan kedua belah tangannya sebanyak sebelas kali. Perhatikan ruhi (tandan) padi yang menghadap ke arah (muka) pemilik padi, ambil sebelas tangkai tadan. Kemudian satukan dengan buah sanggar (pimping) lalu diikat. Padi yang sebelas tangkai itu kemudian disembur dengan sirih. Lalu petani berkata  o.... nini beras pati taneh, mbuah kal page enda ndai, janah sekula serasilah kami man page mbaru enda. Iteremi pagi man page mbaru enda erkiteken meriah ukurlah. Artinya “terima kasih dewa tanah, kami telah memperoleh panen yang baik, dan berbahagialah kami memakan buah padi ini. Beramai-ramai kami memakannya  karena kebahagiaan.[10]
Selanjutnya, pungo dikumpulkan dan dibuat onggokan seperti gunung/candi, yang disebut pinuh. Tata cara membuat pinuh adalah sebagai berikut: Pertama-tama ditentukan tempat, dibersihkan atau dicangkul sampai rata. Kemudian dialasi dengan tikar (amak). Setelah selesai tempat disiapkan, maka disiapkan tapak pinuh, yaitu: pungo yang disusun seperti lingkaran (disebut tapak pinuh). Selanjutnya, disusunlah pinuh-pinuh itu sampai selesai menyerupai gunung atau candi. Di bagian paling atas ditutup dengan sebuah pinuh dan diberi setongkol jagung yang kulit-kulitnya dikuakkan sehingga warna merah jagungnya kelihatan dan jagung itu menjadi hiasan dari pinuh tersebut.[11] Dan akhirnya selesailah acara panen.



Daftar Pustaka
 
Parinst, Darwan, Adat Karo. Medan: Bina Media Perintis, 2014.
Sitanggang, Hilderia, Arsitektur Tradisional Batak Karo. Jakarta: Dapartemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1991.
Piepke, Joachim G, “Korban sebagai Sumber Kehidupan”, dalam: Kleden, Paul Budi et. al. (eds), Allah Menggugat, Allah menyembuhkan, Kenangan HUT ke-65 P. Dr. Georg Kirchberger, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2012)hlm,41-66.





[1] Joachim G Piepke, (2012), “Korban sebagai Sumber Kehidupan”, dalam: Kleden, Paul Budi et. al. (eds), Allah Menggugat, Allah menyembuhkan, Kenangan HUT ke-65 P. Dr. Georg Kirchberger, Maumere: Penerbit Ledalero, h. 41-66.
[2] Darwan Parinst, Adat Karo, Medan: Bina Media Perintis, 2014,hlm215.
[3] Hilderia Sitanggang, Arsitektur Tradisional Batak Karo, (Jakarta: Dapartemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1991), hlm.50.
[4] Darwan Parinst, Adat Karo, Medan, hlm.216.
[5] Darwan Parinst, Adat Karo, Medan, hlm.216.
[6] Darwan Parinst, Adat Karo, Medan, hlm.217.
[7] Darwan Parinst, Adat Karo, Medan, hlm.218.
[8] Darwan Parinst, Adat Karo, Medan, hlm.221.
[9] Darwan Parinst, Adat Karo, Medan, hlm.220.
[10] Darwan Parinst, Adat Karo, Medan, hlm.221.
[11] Darwan Parinst, Adat Karo, Medan, hlm.221.